Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab / Tu Sop |
Politik Sebagai Gelanggang Perjuangan
Tusop.com - Dalam persepsi kebanyakan orang, politik adalah ‘lahan garapan’ yang menghasilkan keuntungan rupiah. Dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pengaruh yang bisa membuka kran rupiah karena memiliki akses ke lingkaran penguasa. Atau paling kurang, pundi rupiah atas nama “operasional” akan mengalir dari partainya sendiri tatkala ada kegiatan-kegiatan politik yang akan disukseskan.
Tak bisa
ditampik, paradigma semacam ini memang sudah begitu mengakar dalam masyarakat ‘ammah.
Namun tidak serta merta semua orang yang terlibat dalam politik bisa
disamaratakan. Perjalanan waktu menegaskan bahwa diluar sana masih ada
orang-orang yang ikhlas menjadikan politik sebagai lahan dakwah untuk
memperkuat nilai-nilai kebaikan yang terkadang harus dilakukan dengan mengorbankan
uang dan harta benda sendiri untuk menjalankan misi perjuangannya.
Dalam
konteks ini, saya tidak memastikan bahwa orang tua saya dan teman-teman
seperjuangannya adalah orang-orang hebat yang ikhlas berjihad di politik atau
justru mereka termasuk orang yang sebatas mencari keuntungan di politik. Sebab
apapun cerita, keihklasan seseorang tidak bisa ditebak karena ia tersembunyi di
lubuk hati yang paling dalam. Namun bagaimana pun saya harus jujur bahwa sejauh
yang saya ketahui, Abu dan beberapa teman seperjuangnya yang saya kenal,
benar-benar orang yang ‘berjihad’ di politik dan untuk kebutuhannya mereka
kerap mengorbankan harta bendanya sendiri.
Dalam
kehidupan pribadi, orang tua saya bukan tipe orang yang melimpah harta
bendanya. Bukan juga saudagar yang punya usaha menjanjikan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan
keluarga. Beliau adalah sosok sederhana yang serba tidak berkecukupan.
Jangankan untuk hidup mewah, mencari nafkah sehari-hari saja masih menjadi
beban.
Kami sebagai
anak-anak beliau memaklumi sesadar-sadarnya akan hal itu. Sebab yang terlihat
dimata kami, sehari-hari beliau harus berjuang keras, berpacu dengan waktu
untuk melayani umat, mengurus dayah yang beliau pimpin dan mencari nafkah untuk
kami. Sehingga pantas saja, ketika kami meminta uang Rp. 20.000 misalnya, yang
kami peroleh dari beliau kadang-kadang tidak sampai setengah dari yang kami
butuhkan. Namun bagi kami, khususnya saya pribadi, hal itu sudah tidak menjadi
beban. Sebab Ummi kami selalu memberikan semangat untuk kami bahwa Abu –sapaan
kami untuk sang ayah- adalah tipe orang yang ‘mewakafkan’ diri untuk dakwah
agama dan menghidupkan syiar Islam. Itu menjadi hal yang paling utama dalam
hidup beliau.
Namun, suatu
hal yang sulit dicerna pada saat itu, di tengah kondisi ekonomi pribadi yang
rapuh, Abu kerap menyisihkan rezeki, terkadang malah menjual harta benda yang
ada untuk kepentingan jihad politiknya. Kepada kami (anak-anak beliau), Ummi kami
bercerita perihal betapa Abu berkorban untuk perjuangan politiknya. Cerita
Ummi, Abu seringkali harus menjual hewan-hewan peliharaannya untuk berangkat
mengikuti rapat-rapat partai atau kegiatan partai yang lainnya. Kadang-kadang
Abu menjual ayam atau bebek, kadang pula Abu menjual biri-biri peliharaannya.
Tergantung besaran biaya perjalanan yang beliau butuhkan. Untuk mengikuti
kegiatan se-tingkat kabupaten –saat itu masih Aceh Utara- biasanya Abu menjual
ayam atau bebek. Dan untuk mengikuti kegiatan di tingkat provinsi biasanya Abu
menjual biri-biri atau kambing.
Sebagian orang,
terlihat lebih sejahtera ketika bergabung dalam partai politik, tapi kenapa Abu
justru malah menghabiskan uang sendiri sampai-sampai menjual hewan peliharaan untuk
mengikuti kegiatan politik partainya? Saya membatin melihat apa yang Abu lakukan
saat itu. Tidak hanya Abu, beberapa teman seperjuangannya setau saya juga kerap
melakukan hal yang sama.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar