Minggu, 09 Oktober 2016
[Testimoni Publik] Saatnya Ulama Menjadi Umara
Oleh Ihsan M. Jakfar
BELAKANGAN ini, diskursus tentang ulama menjadi umara kembali bergulir menjadi topik pembahasan menarik. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemunculan beberapa nama dari kalangan ulama yang disebut-sebut akan ikut meramaikan bursa calon kepala daerah pada Pilkada mendatang. Menanggapi hal ini, beragam pendapat dan pandangan pun bermunculan. Tentu saja ini merupakan bagian dari perkembangan khazanah pemikiran yang harus dihormati.
Dalam konteks keacehan, kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Dalam catatan lintas sejarah Aceh, ulama nyaris selalu hadir dalam politik dari masa ke masa memberikan sumbangsihnya untuk negeri ini. Baik di era otokrasi maupun demokrasi, kaum waratsatul anbiya ini eksis berupaya mempengaruhi pemikiran dan kebijakan-kebijakan para penguasa. Intinya, kehadiran kaum ulama dalam politik tidak bisa dinafikan. Walaupun pergerakan dan strategi politiknya kerap berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan.
Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa dunia politik kita dewasa ini masih sarat dengan berbagai problem multidimensi, mulai dari hulu hingga ke hilir. Betapa tidak, di hulu, dunia politik kita masih disetir oleh birahi kepentingan pragmatis. Sehingga praktek-praktek politik yang jauh dari nilai-nilai idealisme, etika dan kesantunan menjadi tontonan yang tak terhindarkan. Di hilir, dunia politik kita dikangkang oleh keserakahan dan kepentingan politik pragmatis. Sehingga kebijakan-kebijakan yang kemudian dilahirkan tidak kunjung berpihak pada kebaikan dan perbaikan bangsa, agama dan umat jangka panjang secara memadai.
Dalam konteks ini, kehadiran ulama sebagai agen kebaikan dan perbaikan dalam dunia perpolitikan, sejauh ini, belum mampu mengurai persoalan. Pengaruh ulama dalam politik dan kebijakan politis-pemerintahan masih belum cukup kuat. Hal ini ditandai dengan minimnya nasihat-nasihat ulama yang terealisasikan dalam praktek politik dan kebijakan politis-pemerintahan. Lemahnya pengaruh ulama dalam kebijakan politis, bukan karena kaum ulama tidak bekerja secara maksimal dalam mencerahkan maupun menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan perbaikan. Ulama sudah bekerja cukup maksimal sesuai kapasitas yang dimiliki. Tetapi ada persoalan lain yang membuat dakwah ulama diterima secara dhahir tetapi diabaikan dalam kebijakan.
Belum cukup kuat
Dalam telaah penulis, ada dua faktor paling dominan yang membuat pengaruh ulama belum cukup kuat. Pertama, kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, tidak dibarengi dengan nilai tawar politik yang cukup kuat. Sehingga pemain-pemain politik kerap hanya menerima kehadiran ulama sebatas sebagai pelengkap semua unsur demi kepentingan stabilitas politik semata, tanpa ada keseriusan menampung aspirasi keulamaannya. Hal ini tentu disebabkan oleh posisi ulama dalam politik yang masih lemah. Sejauh ini kehadiran ulama dalam politik berada pada posisi pendukung lepas bagi kandidat politik praktis tertentu dan dalam konteks politik-pemerintahan ulama berada pada posisi penasehat bagi pemegang kewenangan. Kedua posisi ini secara politis tidak memiliki nilai tawar yang cukup kuat. Sehingga nasehat ulama bisa saja didengar dengan cukup baik tetapi kerap kali tidak terealisasikan secara baik dan serius dalam kebijakan.
Kondisi ini akan menjadi semakin parah apabila kekuatan politik berada di tangan orang-orang yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk memahami konsep-konsep yang ditawarkan oleh ulama. Lemahnya kemauan bisa jadi karena lemahnya karakter dan kesadaran personal politisi terhadap idealism, kebaikan dan perbaikan yang menjadi substansi dakwah ulama. Hal ini berimbas timbulnya benturan kepentingan dan misorientasi antara kedua elemen ini. Sementara lemahnya kemampuan bisa jadi diakibatkan oleh lemahnya pengetahuan dasar politisi akan prinsip-prinsip dasar idealisme kebaikan dan perbaikan yang didakwahkan ulama. Sehingga walaupun sang politisi memiliki niat baik, tetapi dalam praktiknya apa yang ditawarkan ulama tidak terterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan di lapangan secara tepat. Apalagi, kesibukan masing-masing membuat komunikasi untuk membangun kesepahaman antara keduanya sulit terjalin secara intens dalam kapasitas yang memadai.
Kedua, mengkristalnya paradigma berpikir di kalangan umat dalam berbagai level yang menempatkan ulama sebagai komunitas yang ekslusif dalam bidang keagamaan. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah ulama hanya memiliki kapasitas mengurusi bidang keagamaan dan tidak relevan mengurusi bidang-bidang kehidupan umat lainnya, terlebih politik. Paradigma ini adalah peranakan dari pemikiran sekular-liberal yang mendikotomikan antara agama dan politik. Dalam kondisi seperti ini, pengaruh ulama dalam sektor kehidupan non keagamaan, termasuk politik dan pemerintahan menjadi sangat lemah. Padahal nilai-nilai Islam yang didakwahkan ulama harus menyasar semua sektor kehidupan. Karena sebagai agama yang universal, Islam tidak hanya mengatur tentang peribadatan dhahir semata tetapi juga menjadi konsep kehidupan secara komprohensif.
Dua faktor ini menjadi pangkal tidak cukup kuatnya pengaruh ulama dalam politik yang berimbas tidak tertatanya politik dengan baik. Baik dalam aktivitas politik praktis maupun dalam pemerintahan. Padahal politik berperan penting dalam proses pembangunan peradaban sebuah bangsa. Sebab politik adalah sumber kekuatan strategis yang mampu menggiring bangsa ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, ke arah yang lebih buruk. Jika diibaratkan sebagai sebuah persalinan, politik adalah rahim tempat lahirnya pemimpin dan kebijakan-kebijakan publik yang strategis sebagai manifestasi perencanaan bagi masa depan bangsa dalam berbagai sektor. Tentu saja anak yang dilahirkan tidak bisa dipisahkan dari karakter sang ibu. Politik yang baik akan membuka harapan lahirnya pemimpin dan kebijakan publik yang baik pula. Sebaliknya, politik yang buruk hanya akan melahirkan parasit dan predator bagi masa depan.
Pelopor kebaikan
Oleh karena demikian, politik tidak bisa dianggap sebagai lahan kosong yang bisa ditelantarkan. Kaum ulama sebagai pelopor kebaikan dan perbaikan seyogyanya hadir secara serius dan kontinyu dengan pengaruh dan konsep yang cukup kuat untuk mengintervensi politik dengan nilai-nilai idealisme, kebaikan dan perbaikan. Apabila dalam posisi berada di posisi yang lemah dalam politik praktis, pengaruh ulama tidak kunjung membawa perubahan ke arah yang lebih baik, umat harus siap mendukung sepenuh hati agar ulama menduduki posisi strategis dalam politik praktis untuk memperkuat eksistensi dan pengaruhnya dalam perbaikan.
Melihat kondisi perpolitikan yang tak kunjung membuat kita merasa optimistis akan menuju ke arah yang lebih baik, serta kekhawatiran kita akan semakin mengkristalnya pemikiran secular-liberal yang melemahkan eksistensi agama dan ulama dalam politik hingga akhirnya politik akan semakin jauh dari nilai-nilai agama, maka sejauh pemikiran penulis, sudah sampai saatnya ulama menjadi umara. Artinya, kaum ulama harus memegang kendali pemerintahan untuk memperbaiki kondisi perpolitikan dan meluruskan paradigma politik sesat yang sudah begitu mengkristal.
Ulama terjun dalam politik praktis dengan mencalonkan diri sebagai kepala pemerintahan memang tidak begitu populis. Mengingat selama ini ulama lebih cendrung menjadi pendukung kandidat lain dalam pilkada dan menjadi pendamping bagi leader pemerintahan. Selain itu juga adanya kekhawatiran bahwa jika seorang ulama terjun dalam politik praktis, marwah keulamaannya akan terkotori oleh stigma politik yang negatif. Namun pertanyaan mendasar, jika ulama tidak kuat dalam politik, pada siapa kita berharap perbaikan?
Sejauh ini, ulama dalam posisi “mendampingi umara” tidak kunjung kuat untuk memperbaiki keadaan. Maka sudah sepantasnya wasaf imarah (keumaraan) harus menyatu dengan ulama. Artinya, sudah saatnya yang menjadi umara adalah ulama. Ulama menjadi umara memang bukan hal yang mutlak dan substansial. Substansialnya adalah bagaimana ulama harus memiliki power yang cukup untuk melakukan perbaikan. Manakala perbaikan tidak mampu dilakukan oleh ulama tanpa menjadi umara maka menjadi umara adalah pilihan yang harus dipilih walau sulit dan penuh pengorbanan. Tentu, ulama yang dimaksud adalah ulama yang memiliki karakter yang kuat, wawasan politik yang luas serta memiliki naluri untuk berpolitik.
* Tgk. Ihsan M. Jakfar, Ketua Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), mahasiswa Fakultas Dakwah IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen. Email: ihsan_jeunieb@yahoo.com
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2016/07/29/saatnya-ulama-menjadi-umara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar