Tusop.com |Secara sosio-kultural,
rakyat Aceh memiliki darah cinta kebaikan yang cukup kental. Sejahat apapun
orang Aceh, mereka tetap mencintai kebaikan dan mengakuinya sebagai nilai
idealis yang semestinya diaktualisasikan dalam keseharian walaupun terkadang
secara personal nilai itu gagal diwujudkan dalam sikap dan perilakunya karena
berbagai alasan. Darah cinta kebaikan ini sejatinya adalah potensi besar yang
jika mampu terkelola dengan baik akan melahirkan kekuatan besar untuk menuju
Aceh yang baldatun tayyibatun wa rabbun
ghafur.
Demikian pesan yang disampikan Tgk
H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab atau biasa disapa Tu Sop, pimpinan Dayah
Babussalam Al-Aziziyah, Jeunieb, Kabupaten Bireuen dalam pengajian rutin kitab Ihya Ulumuddin yang disiarkan dari
frekuensi radio Yadara FM, 92,8 Mhz, Jeunieb, Sabtu, 3/9.
“Di dalam tubuh orang Aceh mengalir
darah-darah pecinta dan pejuang kebaikan. Para pendahulu Aceh adalah
orang-orang yang siap mengorbankan apapun untuk mempertahan panji-panji
kebaikan tetap berkibar di bumi Serambi Mekah ini. Maka potensi ini jika mampu
dikelola kembali dengan baik, kejayaan insya Allah akan menjadi sejarah baru
bagi anak cucu kita” cetus Tu Sop dalam pengajiannya yang berdurasi 30 menit
itu.
Namun Tu Sop memaparkan,
virus-virus pengaruh globalisasi sudah terlalu liar menjangkiti pemikiran dan
perilaku masyarakat Aceh. Sehingga pemikiran dan perilaku masyarakat kita
cendrung secara perlahan bergeser dari nilai-nilai idealisme. Akhirnya
masyarakat kita terjebak dalam pola kehidupan barat yang jauh bergeser dari
pola yang diajarkan Rasulullah saw. Dan ‘serangan’ paling dahsyat menghantam
akhlak dan moralitas masyarakat kita. Celakanya, bangsa yang tidak berdiri atas
pondasi akhlak dan moralitas akan goyah dan sulit berkembang.
Maka oleh karena demikian, menurut
Tu Sop, harus ada pergerakan-pergerakan idealis untuk bagaimana memperbaiki
kembali tatanan kehidupan masyarakat kita gunu mempersiapkan bangsa ini sebagai
bangsa yang layak maju dan berkembang. Perbaikan itu bisa dimulai dari
bagaimana meneguhkan kembali nilai-nilai akhlak dan moralitas yang tinggi
dengan memaksimalkan potensi naluri orang Aceh yang cinta kebaikan. Pergerakan
idealis itu dalam istilah Tu Sop disebut dengan “men-dayah-kan masyarakat”.
“Harus diakui, dengan segala
keterbatasan dan kelemahan yang ada, dayah adalah lembaga pendidikan yang
konsisten meneguhkan nilai-nilai akhlak dan moralitas dalam masyarakatnya. Dan
itu sudah teruji. Maka untuk ke depan, eksistensi nilai-nilai ke-dayahan ini
harus mampu diwujudkan tidak hanya di lingkungan dayah semata, tetapi turut
menjadi nilai yang menjadi khas masyarakat Aceh secara keseluruhan. Dalam
konteks ke-Acehan, hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan karena orang
Aceh memang memiliki darah cinta kebaikan. Hanya saja ini harus terkelola
dengan baik. Sebab selama ini, masyarakat kita belum mendapat sentuhan
penanganan yang cukup memadai. Tentu saja dalam hal ini butuh kerja keras,
stategi dan pejuang-pejuang perbaikan yang militan serta kekuatan yang cukup”,
lanjut sosok ulama yang juga ketua I Himpinan Ulama Dayah Aceh (HUDA) tersebut.
Men-dayah-kan masyarakat, menurut
Tu Sop, adalah langkah awal untuk memulai perbaikan. Sebab persoalan besar Aceh
hari ini bukan kekurangan sumbar daya alam (SDA) atau kekurangan orang-orang
cerdas. Tetapi Aceh hari ini masih membutuhkan banyak orang-orang baik yang
memiliki keikhlasan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada bagi kemaslahatan
masyarakat seluas-luasnya. Salah satu imbas dari degradasi akhlak dan moralitas
adalah lahirnya orang-orang serakah yang menggunakan semua potensi yang dimilikinya
semata-mata untuk memanjakan keserakahannya tanpa memikirkan bagaimana
kedhaliman itu terus mengurung bangsa dan masyarakatnya dalam keterpurukan.
“Aceh tidak kekurangan sumberdaya
alam. Aceh juga tidak kekurangan orang-orang cerdas. Aceh hanya butuh tambahan
orang-orang baik dalam jumlah yang lebih besar untuk kembali ke era kejayaan”,
tutup Tu Sop. (Admin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar