Oleh Khairil Miswar
Kemarin (25/07/16) sewaktu perjalanan pulang dari Samalanga
dalam rangka mewawancarai seorang informan untuk kebutuhan penelitian, sesampai
di kawasan Blang Bladeh, mobil butut yang saya tumpangi berjalan seperti
merayap. Maju, berhenti, maju dan berhenti lagi. Seketika itu saya bangun dari
pembaringan dan melihat jauh ke depan. Ternyata jalanan sedang dilanda macet.
Saya berusaha melihat lebih jauh ke depan, samping dan belakang.
Saya melihat ramai sekali masyarakat yang umumnya berkostum putih duduk rapi di
mobil bak terbuka yang terus berjalan lambat. Sebagian yang lain menggunakan
sepeda motor dan juga mobil minibus. Setelah merayap beberapa saat, mobil butut
kami terus mendekat ke Lapangan Geulumpang Payong. Sampai di sana, jalanan juga
terlihat macet dari arah timur (arah Matangglumpangdua).
Setelah berusaha melihat kiri-kanan, saya baru tahu bahwa
kemacetan tersebut terjadi akibat melimpah-ruahnya massa yang sama-sama menuju
Glumpang Payong dalam rangka Deklarasi Pasangan Balon Bupati Bireuen, Tu Sop
dr. Pur.
Sebenarnya, saya tidak begitu fokus terhadap perkembangan
politik di Bireuen, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Namun, untuk
sekedar mengisi waktu kosong, terkadang saya juga berusaha melibatkan diri
dalam perbincangan tak penting di kedai kopi terkait beberapa topik hangat yang
sedang menjalar di Bireuen seulawet ini.
Mungkin konflik internal Partai Aceh (PA) Bireuen antara
pendukung Tuan Khalili versus Tuan Ruslan adalah topik paling hot dalam
beberapa minggu ini setidaknya paling hot menurut saya. Namun demikian,
kegaduhan itu adalah urusan mereka. Tentunya akan sangat membuang waktu jika
kita membincangkannya mereka di sini.
Hasil membaca di beberapa
media cetak dan online, saya berhasil mendapatkan sedikit informasi tentang
beberapa bakal calon bupati yang akan bertarung merebut Pendopo Kota Juang.
Tersebutlah beberapa nama, seperti Haji Saifannur (pengusaha kaya), Amiruddin
Idris (Rektor Umuslim), Khalili dari Partai Aceh (saya tidak tahu profilnya),
Haji Ruslan (Bupati sekarang), Mustafa A. Geulanggang (mantan Bupati Bireuen),
Tgk. M. Yusuf A. Wahab (pimpinan salah satu pesantren di Jeunib dan juga
seorang dai) yang dikenal dengan sebutan Tu Sop, dan beberapa nama lain yang
tidak begitu populis.
Dari sekian bakal calon yang sudah disebut di atas, kemarin
salah satu pasangan telah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pilkada (Pilbub)
Bireuen mendatang. Kemarin terlihat jelas bahwa massa pasangan Tu Sop dr. Pur
melimpah-ruah dan membuat macet jalanan di seputar Kota Bireuen.
Melihat massa yang membludak, sebagian masyarakat atau mungkin
timses bakal calon dengan penuh percaya diri membuat status di media sosial:
Insya Allah Tu Sop Meunang dan status-status serupa lainnya. Harapan seperti
itu tentunya sah-sah saja, setidaknya bisa memompa semangat timses dan juga
para pendukung untuk terus bekerja maksimal pada prosesi pilkada nantinya.
Namun demikian, prediksi kemenangan hanya dengan menggunakan indikator
kerumunan massa adalah terlalu naif.
Pasca Deklarasi Tu Sop dr. Pur, di beranda media sosial,
khususnya facebook, juga terdapat beberapa komentar sinis terhadap deklarasi
tersebut. Dalam dunia demokrasi, tentu hal semacam ini lumrah saja, di mana
kita berhak menyatakan suka atau pun tidak suka kepada sosok tertentu. Sebagai
insan merdeka, tentunya kita punya kebebasan untuk menyatakan sikap politik.
Namun demikian, dalam menilai sosok tertentu, baik politisi atau siapa pun
objektivitas tetap harus dikedepankan.
Hasil pengamatan di media sosial dan juga bincang-bincang kedai
kopi, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian kalangan yang menginginkan Tu Sop
untuk memimpin Bireuen ke depan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh
ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap para politisi dari partai penguasa.
Dalam hal ini, Tu Sop tentunya dengan berbagai argumen logis diharapkan dapat
memberi warna baru dalam perpolitikan dan juga pemerintahan Bireuen ke depan.
Namun demikian, ada pula sebagian masyarakat yang tidak ingin Tu Sop yang
notabene adalah seorang yang alim melibatkan diri dalam kancah politik praktis.
Ketidaksetujuan mereka terhadap keterlibatan Tu Sop dalam dunia
politik praktis juga didasari oleh alasan yang berbeda satu sama lain.
Ada sebagian kalangan mendasarkan ketidaksetujuannya dengan
maksud untuk menyelamatkan Tu Sop dari dunia politik yang selama ini dianggap
telah jauh dari nilai-nilai Islam. Selain itu, ada pula kalangan lain yang
tidak setuju dengan kehadiran Tu Sop tersebab akan menjadi duri penghalang bagi
calon yang diusungnya.
Terserah alasan mana yang mereka pakai, yang jelas semua orang
berhak untuk memberi penilaian dari sudut pandangnya sendiri.
Di sebalik itu dan ini adalah pendapat pribadi, saya melihat
kehadiran pasangan Tu Sop dr. Pur yang merupakan kombinasi ahli agama dan ahli
medis patut diapresiasi oleh semua pihak, khususnya masyarakat Bireuen. Kehadiran
mereka setidaknya dapat memberi pembelajaran politik bagi masyarakat Bireuen,
di mana piasan kekuatan politik dominan yang selama ini dianggap mengecewakan
akan terus ditantang oleh orang-orang baik.
Jika dulu mereka (mungkin) menyatakan dukungannya kepada
kekuatan politik tertentu, maka saat ini mereka memilih untuk menyusun kekuatan
politik baru guna menumbangkan kekuatan lama.
Saya melihat, kehadiran Tu Sop di kancah politik Bireuen
merupakan cerminan dari kejenuhan ulama terhadap praktik politik selama ini
yang entah bagaimana. Praktik politik yang jauh dari nilai-nilai agama, mulai
dari teror, money politik dan tindakan-tindakan hina lainnya tentu akan
mendorong kaum terpelajar seperti Tu Sop untuk melakukan perlawanan Mungkin,
kejenuhan yang sudah memuncak inilah yang mendorong Tu Sop untuk maju ke depan.
Tentu ada cita-cita besar yang ingin diwujudkan oleh Tu Sop bersama para
pendukungnya.
Tapi, apakah Tu Sop akan mampu mewujudkan cita-citanya? Kita
hanya bisa berharap dan berdoa. Wallahu Alam.
link sumber:
http://www.acehtrend.co/tu-sop-dan-cerminan-kejenuhan-ulama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar