![]() |
Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab |
Tusop.com, BANDA ACEH - Umat
Islam di Aceh dalam kehidupannya di dunia diharapkan tidak saling menghancurkan
sesamanya, dan terus bisa menjaga persatuan sehingga lahirnya kekuatan agar
tidak mudah dikacaukan oleh musuh-musuh Islam yang ingin menciptakan kekacauan
dan perpecahan di tengah umat ini.
Sementara
terhadap berbagai perbedaan pendapat atau khilafiyah yang muncul, jangan
melahirkan permusuhan sesamanya tapi, sebaliknya menjadi rahmat untuk saling
menguatkan satu dengan lainnya dengan tetap berpegang pada tuntunan Al-Qur'an
dan ajaran dari Rasulullah SAW.
Demikian
disampaikan Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab atau Tu Sop (Pimpinan Dayah Babussalam
Al -Aziziyah Jeunieb, Bireuen) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan
Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak,
Jeulingke, Rabu (30/9/2015) malam.
"Kita
tidak ingin perbedaan yang saling menghancurkan. Kita ingin ikhtilafu ummati
rahmah. Kita ingin perbedaan yang saling menguatkan. Bagai elemen mobil,
berbeda, tapi saling menguatkan," kata Tgk. HM. Yusuf A. Wahab
Pada
pengajian yang membahas tema, "Memahami Ahlussunnah Waljamaah" ini,
Tu Sop menyerukan umat Islam semua beragama seperti yang dibawa oleh
Rasulullah. Semua berada di garis yang lurus, yang membuat perjalanan hidup
mati benar-benar ke surga, dan bukan neraka. Maka Rasulullah menyuruh mengikuti
apa yang beliau bawa.
"Ma'ana
alaihi wa ashhabi. Ini dasar Ahlusunnah wal jamaah. Pertama ikut Rasul.
Kemudian, yang paling mengerti dan paling mampu menerjemahkan apa yang dimaksud
oleh Rasulullah adalah sahabat. Jadi mengikuti sahabat artinya mengikuti
Rasulullah. Agama itu diterjemahkan lewat teks dan lewat perbuatan. Kalau
shalat diterjemahkan lewat perbuatan, kita tidak bisa. Karena kita tidak
melihat Rasulullah. Yang melihat Rasulullah adalah sahabat. Sahabat
memperlihatkan kepada tabiin. Tabiin memperlihatkan kepada tabi’ tabi’in.
Begitulah seterusnya," jelasnya.
Maka,
yang namanya Ahlussunnah Waljamaah dari generasi awal itu sangat mempertahankan
silsilah mata rantai. Misalnya, ada yang pelajari satu ilmu, harus jelas
gurunya siapa? Gurunya itu gurunya siapa? Dan gurunya itu siapa lagi gurunya?
Hingga ke Rasulullah. Karena kalau lepas dari mata rantai itu, terjadi
pemahaman-pemahaman yang berpotensi menyeleweng. Perawi hadis juga seperti itu.
"Ketika orang baca
Al-Quran dan hadits kemudian beda pemahaman, yang beda bukan ayat dan hadits,
tapi pemahaman. Maka ada ilmu untuk menguji kebenaran pemahaman tersebut,
seperti ushul fiqh," sebut ulama muda Aceh ini.
Tu
Sop menekankan kenapa perbedaan yang menghancurkan harus dihindari. Ini
tidak baik bagi agama sendiri dan pemeluknya. Kedua, sumber yang benar adalah
punya silsilah dari Rasulullah dan sahabat, tanpa mempertentangkan antara
sahabat dengan Rasulullah. Misalnya, kita tidak boleh ikut sahabat, ikut
Rasulullah saja, ini baru sunnah saja, belum jamaah.
Padahal tidak ada
pertentangan apa yang dilakukan Nabi dan sahabat, karena sahabat adalah
generasi yang paling memahami Nabi. Bagai orang yang lihat mobil dari jauh,
seolah-olah bertabrakan, padahal kalau kita lihat dari dekat, ternyata tidak
bertabrakan.
"Khusus
bagi kita dan apa yang terjadi, ada akibat pemahaman berbeda yang saling
menghancurkan. Di saat dua hal berbeda dan saling mendominasi, bisa masuk pihak
ketiga atau empat yang bermain. Sehingga yang menyerang la ilaha illa Allah,
dan yang diserang juga la ilaha illa Allah," ungkapnya.
Maka
kita perlu kaji bersama, kenapa Aceh di saat jayanya, saat kerajaan Aceh jadi
kekuatan dunia, di saat mereka mengakui 4 mazhab, tapi untuk Aceh diambil satu,
kenapa? Saat itulah Aceh kompak, Aceh maju, dan go internasional. Walau ada
perbedaan, bisa diselesaikan, tanpa menghancurkan.
"Apa
yang terjadi di Timur Tengah jangan sampai terjadi di Asia Tenggara, jangan di
Indonesia, dan Aceh. Mari kita tafsirkan Ahlussunnah Waljamaah. Kita harus
bedakan personalnya dengan konsepnya. Jangan mengukur Islam lewat muslimnya,
apalagi muslim zaman sekarang. Mungkin kalau muslimnya sahabat, iya. Tapi
muslim zaman sekarang jangan," harap Tu Sop yang juga Ketua I Himpunan
Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini.
Maka
dalam hal itu, maunya kita mampu membangun pemikiran yang bijaksana, Ahlusunnah
Waljamaah yang punya silsilah hingga ke Rasulullah, dengan metoda-metoda yang
jelas. Kalau tidak komit dengan itu, maka siapa pun akan menyatakan ini dari
Al-Quran, itu dari Al Quran, padahal itu menurut mereka sendiri, seperti yang
dilakukan oleh kaum liberal.
Tgk
Yusuf juga menjelaskan, masalah akan muncul ketika hadir yang
menghancurkan pemahaman lain. Misalnya, orang di Aceh sudah ada satu pemahaman.
Datang orang lain, mengatakan ini syirik, itu bid'ah, ini sesat. Tidak
dimusyawarahkan dulu, ini syirik atau tidak. Tapi langsung menghakimi sendiri.
Misalnya,
Ulama-ulama Aceh dulu mengatakan Allah SWT itu tidak bertempat dan tidak ada
ruang dan waktu. Lalu datang yang lain mengatakan Allah punya tempat. Inilah
sumber terjadi frontalitas. Ini sebenarnya perlu dihindari. Kalau dibiarkan,
jadi arena pertarungan.
"Bijaksananya, kembali ke kepemimpinan Islam masa lalu. Dengan kafir aja bisa hidup. Jangan datang-datang menghancurkan yang sudah ada. Bagaimana bisa toleran jika terus menghancurkan yang lain. Kalau ada yang salah, ayo duduk bersama. Jangan sampai membuat masyarakat bingung," terangnya. (kwpsi.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar