Banda Aceh|Pengurus Besar (PB) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menyelenggarakan Seminar Kebangsaan dengan tema utama yaitu “Menemukan Pemimpin Ideal untuk Aceh” sebagai salah satu rangkaian menjelang Pelantikan Pengurus Besar HUDA yang direncanakan akan berlangsung pada 17 Juli 2024 di Banda Aceh.
Seminar kebangsaan yang berlangsung pada Sabtu Siang 29 Juni 2024 di Hotel Grand Aceh Syariah ini dihadiri Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mantan Menteri PDT, Bendahara PBNU H Gudfan Arif Ghofur (Gus Gudfan), seribuan peserta yang terdiri dari pimpinan dayah, pengurus HUDA kabupaten kota se-Aceh, Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Aceh, para pejabat, aktivis ormas, akademisi dan tamu undangan lainnya.
Selain itu, nampak juga dihadiri oleh Rektor UIN Sumatera Utara, Prof. Dr. Nurhayati, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman, para Forkopimda, sejumlah kepala Dinas dan para politisi dari sejumlah partai lokal dan nasional di Aceh. Selain itu, juga turut dihadiri oleh para ulama kharismatik Aceh seperti Abu Mudi, Waled Nuruzzahri Samalanga, Abi Daud Hasbi, para pimpinan MPU Aceh, Prof. Muhibuthabary dan puluhan ulama lainnya.
Dalam seminar membahas kepemimpinan untuk Aceh ini, PB HUDA menghadirkan dua narasumber, yaitu Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf dan Ketua Umum PB HUDA sendiri yaitu Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab atau yang akrab disapa Tu Sop Jeunieb serta dimoderatori oleh akademisi Universitas Malikussaleh, Dr. Rizwan H. Ali, MA.
*Tu Sop : Pemilih dan Yang Dipilih Harus Sama-Sama Ahli*
Di awal paparannya, Tu Sop mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan konsep yang universal dan menjadi solusi di setiap zaman dari masa Rasulullah Saw hingga saat ini. Tu Sop dalam paparannya menjelaskan bahwa sesungguhnya paradigma Ahlussunnah wal jama’ah yang wasathiyah itu sesungguhnya berfungsi untuk membangun peradaban dan pranata sosial masyarakat kita.
Dalam ulasannya, Tu Sop mengatakan bahwa masyarakat sering mempertanyakan dimana salahnya sehingga kita gagal memiliki kepemimpinan yang kharismatik dan berwibawa seperti konsep ideal dalam Islam seperti di masa dahulu. Kenapa sekarang konsep kepemimpinan ideal itu sudah terdegradasi, dimanakah salahnya.
Terhadap hal ini, kata Tu Sop, kalau kita mau menyalahkan sistem demokrasi, tapi saat ini faktanya system demokrasi ini sudah menjadi konsensus dunia sehingga kita tidak bisa melawan itu. Jadi sekarang yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana konsep Ahlussunnah wal Jama’ah menjaga keseimbangan itu, yaitu bagaimana membawa konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dapat menyesuaikan diri dengan era demokrasi, khususnya dalam melahirkan orang-orang yang ahli untuk memilih dan ahli untuk dipilih.
“Antara _imamah_ (pemimpin) dan para pemilih pemimpin itu sebenarnya dua-duanya harus ahli. Maksudnya sang pemimpin dan yang memilih pemimpin itu harus ahli. Dalam konsep Ahlusunnah wal Jama’ah yang disusun para ulama terdahulu itu, ada istilahnya _ahlul imamah_ dan _ahlul ikhtiar_ (yang memilih pemimpin), “ urai Tu Sop.
Menurut Tu Sop, kalau kita kaji, mereka dulu itu mampu merumuskan rumusan dengan standar keahlian dalam kapasitasnya masing-masing. Kapasitas sebagai pemimpin dan kapasitas sebagai pemilih (yang mengangkat pemimpin).
“Kalau istilah kita sekarang itu, mereka itu punya kapasitas, integritas, dan sesuai dengan konteks yang sedang dihadapi. Mereka sudah membuat standar itu. Artinya, seorang pemilih itu harus tahu tentang kepemimpin yang punya standar-standar yang ada nilai kapasitas, integritas serta kemampuan dan syarat-syarat lainnya.
“Sekarang, keadaannya, bagaimana menerapkan itu. Karena kita menyerahkan urusan ini pada yang bukan ahlinya. Yang memilih tidak ahli dalam memilih, yang dipilih tidak ahli untuk dipilih. Akhirnya negeri ini tidak terurus dengan baik sehingga terjadilah berbagai masalah. Jadi sekarang bagaimana membawa nilai-nilai Ahlusunnah wal Jama’ah dalam sistem yang sangat liberal sekali, “ kata Tu Sop.
Dalam konteks keadaan kepemimpinan dan para pemilih pemimpin seperti inilah kita melihat penerapan Syari’at Islam di Aceh. Dimana nilai-nilai Ahlusunnah wal Jama’ah tidak mampu mempengaruhi perilaku kita di era yang serba bebas ini.
“Kalau dunia Pendidikan tidak berfungsi kesana, dunia dakwah tidak berfungsi kesana, majlis ta’lim tidak berfungsi kesana, akhirnya masyarakat akan meninggalkan nilai-nilai etika Islam dalam menghadapi kehidupan global saat ini. Di Aceh sekarang orang mengatakan ada regulasi atau qanun-qanun Syari’at Islam. Tapi terkadang Syari’at Islam yang dibayangkan masyarakat kita itu terlalu ideal. Disisi lain, Syari’at Islam tidak jarang dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan dan menjadi kambing hitam.
Ketika Aceh Aceh tidak maju, yang disalahkan Syariat Islam. Ketika angka perceraian tinggi, yang dikambinghitamkan juga Syari’at Islam. Berarti kita gagal memahami syariat”.
Di sini maka ada pertanyaan mungkinkah mungkinkah negeri ini jadi bersyariat kalau paradigma kita politik kita tidak bersyariat. Artinya, mungkinkah nilai-nilai dalam mengelola negeri ini terintegrasi untuk melahirkan manusia-manusia yang punya kapasitas yang sesuai dengan regulasi yang ada lewat politik konvensional ini. Ini yang jadi masalah.
Oleh sebab itu, Tu Sop menekankan agar kepemimpinan yang bersyari’ah juga masuk dalam institusi rumah tangga. Seorang kepala rumah tangga harus menjadi pemimpin yang bersyari’ah di rumahnya.
Di awal acara, mewakili ketua panitia, Tgk. H. Faisal Ali yang akrab disapa Abu Sibreh dalam sambutannya mengatakan bahwa seminar kebangsaan ini diselenggarakan oleh PB HUDA untuk membahas kepemimpinan ideal untuk Aceh yang akan menyelenggarakan Pilkada dalam beberapa waktu ke depan. Sehingga dengan seminar kebangsaan ini bisa memberikan wawasan untuk bagaimana melahirkan kepemimpin yang ideal untuk Aceh.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf dalam ulasannya antara lain menjelaskan bahwa Rasulullah Saw itu membangun peradaban. Dalam hal kepemimpinan, menurut sosok yang akrab disapa Gus Yahya ini, seorang pemimpin dalam Islam itu harus benar-benar berkapasitas secara ilmu, artinya benar-benar alim, fakih dan juga paham urusan dunia.
Menurut Gus Yahya, sekarang ini terjadi kontradiksi Dimana kesatuan dari wali ilmi dan wali dunia itu susah dipertahankan karena ilmu yang ada berkembang menjadi semakin kompleks. Sehingga ahlul ilmi (ahli ilmu) tidak sempat lagi mengurus urusan dunia, mereka sudah habis waktunya buat mengurusi ilmu, buat belajar dan berkhidmat kepada ilmu. Di sisi lain, kompleksitas yang terjadi hari ini semakin bertambah dikala orang-orang berkuasa tidak sempat lagi mengikuti pengajian.
“Yang alim-alim tidak sempat membangun kekuasaan karena berkhidmat dengan ilmu, sedangkan yang berkuasa tidak sempat lagi mengikuti pengajian. Ini yang terjadi dan memang sudah terjadi lama sekali,” ujar Gus Yahya.
Social Media Icons